KAMAR BEDAH 501
“Tok... Tok... Tok..” terdengar
suara ketukan pintu dari luar rumah Pak Siswo.
Pak Siswo membuka
pintu rumahnya.
“Permisi. Apakah ini rumah Mbak
Sarah?” tanya seseorang yang mengetuk pintu rumah Pak Siswo.
“Benar, saya Ayahnya. Anda siapa
ya?” tanya Pak Siswo pada seorang laki-laki yang memakai jas putih di depannya.
“Bolehkah saya masuk?”
“Oh ya, silakan.”
Laki-laki itu masuk
dan duduk di kursi panjang yang ada di ruang tamu rumah Pak Siswo.
“Perkenalkan nama saya Jarot.
Saya dari Universitas Bina Merdeka Jakarta. Begini, Pak, saya dari Fakultas
Kedokteran UBM, dan saya sedang ada praktik bedah. Saya dengar Mbak Sarah
pernah jadi perawat puskesmas di Madura ini. Benarkah itu, Pak?”
“Saya ingin menjadikan Mbak
Sarah sebagai asisten saya sampai saya menjadi dokter nanti dan Mbak Sarah akan
menjadi asisten saya selamanya.”
“Saya panggilkan Sarah dulu.”
Lalu Pak Siswo memanggil Sarah. “Sarah!!! Sarah!!! Cepat kemari, ada yang ingin
bertemu dengamu,” panggil Pak Siswo dari ruang tamu.
“Iya, Pak, sebentar.” Lalu Sarah
bergega menuju ruang tamu dan berjabat tangan dengan Jarot.
“Kenalkan, saya Jarot.”
Perbincangan di dalam rumah itu
begitu lama. Akhirnya Sarah mau untuk menjadi asisten Jarot. Hari itu juga
Sarah langsung dibawa Jarot ke Madura.
Sampai di rumah Jarot, dia
bersiap-siap untuk berangkat ke kampus Jarot esok hari. Setelah itu dia tidur.
Keesokan harinya Sarah dibawa
melesat ke UBM. Sampai di sana, Sarah langsung mengikuti Jarot menuju ruang
praktik bedah. Di dalam ruang itu, Jarot sudah ditunggu teman-temannya.
“Ini man yang loe buat
praktik? Cantik juga. Nggak eman-eman apa?” tanya seorang teman Jarot
yang berada di sudut ranjang.
“Ah, ngapain eman sih.
Yang penting gue bisa jadi dokter semua akan gue lakuin. Masih banyak yang
lebih cantik dari dia tau,” jawab Jarot dengan santai.
“Maksud kalian apa bicara
seperti itu?” tanya Sarah yang jantungnya mulai berdebar-debar.
“Jangan banyak omong loe. Loe di
sini bukan untuk jadi asisten gue. Tapi untuk praktik jadi pasien bedah dan
penelitian gue. Ngerti loe!!” bentak Jarot pada Sarah.
Dipaksanya Sarah untuk
berbaring. Namun Sarah tetap memberontak. Teman-teman Jarot pun membantu Jarot
untuk menenagkan Sarah. Jarot dan teman-temannya sudah kualahan mengatasi
tingkah Sarah yang terus memberontak. Tapi Jarot tak mau mangsanya itu lepas
begitu saja. Dia tetap berusaha untuk memasang tali pada kedua kaki, tangan dan
perut. Tak lama kemudian, dia mengambil pisau dan gunting.
“Lepaskan saya!! Kalian jahat
sekali. Tak punya perikemanusiaan sama sekali. Jangan harap kalian bisa jadi
dokter,” berontak Sarah di ruang itu.
“Diam kamu!!” bentak Jarot.
Dengan sangat kejam, Jarot
menyayat perut Sarah. Terdengar suara Sarah yang kesakitan.
“Loe gila ya, Rot. Masa enggak
loe bius dulu sih! Tega banget loe1” kata teman salah satu teman Jarot.
“Alah, biarin aja. Lagian bukan
gue kan yang ngerasain sakit.”
Temannya diam
seketika. Tak berani menentang Jarot lagi. Jarot melanjutkan aksinya. Dia
mengambil gunting dan menggunting perut Sarah.
“Arrrrrgggghhhh!!!” lagi-lagi
terdengar suara Sarah yang meraung kesakitan.
Tak
lama kemudian, Sarah sudah tak sadarkan diri. Dibiarkannya Sarah tak sadarkan
diri. Jarot terus melakukan aksinya untuk menembus perut Sarah. 3 jam kemudian,
Jarot berhasil mengambil cairan entah itu apa dan dituangkannya ke gelas
praktik.
“Loe
nggak beresin tuh orang yang udah loe ambil cairannya?” kata salah satu
temannya.
“Iya,
entar gue jahit perutnya,” jawab Jarot.
“Ya
udah deh kalo mau loe gitu. Gue nggak ikut-ikut pokoknya kalau dia sampai mati.”
“Terserah!!
Kalau mati tinggal kubur atau buang ke kali aja bingung banget sih.”
Reni, Rio, Siska, Enggar, dan
Doni, teman-teman Jarot yang mendampinginya di dala ruangan bedah itu. Lima
orang di dalam ruangan itu diam seketika Jarot membentak mereka semua. Jarot
fokus kepada cairan yang sudah diambilnya. Teman-teman Jarot tidak satu pun
yang membantunya. Mereka semua hanya melihat tingkah Jarot yang ganas itu.
Lama kemudian, Jarot pamit
keluar ruangan untuk meneliti cairan tersebut. Dia pergi menuju laboratorium
kimia untuk mengujinya. Tak lama kemudian, Rio mengambil jarum dan benang.
“Mau ngapain loe?” tanya Doni.
“Gue nggak tega liat dia seperti
ini. Gue mau jahit aja perutnya.”
“Nanti kalau loe dimarahin sama
Jarot gimana?” kata Siska.
“Biarin aja. Gue bener-bener
enggak tega ngelihatnya.”
“Terserah loe deh, Ri. Kita
semua enggak ikut-ikutan.”
Rio hanya terdiam
dan melakukan niatnya untuk menjahit perut Sarah.
Setengah jam kemudian, Jarot
kembali ke ruangan bedah itu lagi. Dia memeriksa pasiennya, Sarah. Jarot
mendapati perut Sarah yang terjahit.
“Gue tadi yang jahit perut
pasien loe,” Rio buka mulut.
“Terserah. Gue enggak peduli.
Lagian dia juga udah mati kayaknya,” jari tengan dan telunjuknya di tekankan
pada denyut nadi yang ada di tangannya. “Nadinya udah berhenti. Berarti dia
udah mati.”
“Enggak loe urus mayatnya?” kata
Rio.
“Kapan-kapan aja deh. Kalau gue
udah selesai ngurus praktikum ini.”
“Seminggu lagi dong?! Itu pun
kalau loe ngerjainnya nggak molor,” tambah Siska.
“Iya, bakal gue urus kok
mayatnya. Tenang aja. Nanti malam gue mau lembur ngurusin cairan yang tadi. Mau
ikut nggak kalian?”
“Enggak deh. Gue langsung pulang
aja. Gue mau ke rumah temen,” kata Reni.
“Gue juga pulang,” sahut Siska.
“Gue capek habis jahit perut
dia. Istirahat aja deh gue di rumah,” sambung Rio.
“Gue juga pulang. Males,” tambah
Doni.
“Gue juga mau istirahat aja di
rumah,” ujar Enggar kemudian.
“Ya udah. Gue lembur sendiri
kalau gitu,” jawab Jarot.
Dua jam kemudian mereka semua
beres-beres barang mereka kecuali Jarot. Jarot tetap sibuk dengan
penelitiannya. Dia sibuk menyiapkan barang-barang yang dijadikan kerja lembur.
Setelah itu, teman-teman Jarot pamit pulang. Jarot mengiyakan kepergian mereka
semua.
Di dalam ruang bedah, hanya
tertinggal Jarot dan mayat Sarah. Namun tak ada sedikit pun rasa takut di dalam
benak Jarot. Dia keluar ruangan bedah itu dan menuju laboratorium kimia. Dia
masuk laboratorium dan mengambil cairan yang diambil dari perut Sarah siang
tadi. Dalam ruang yang gelap, yang hanya satu lampu menerangi ruangan itu,
Jarot mulai merinding merasakan suasana di sekitarnya. Seperti ada yang
mengikutinya. Jarot coba acuhkan berkali-kali, namun bayangan itu malah semakin
jelas. Dia tengok ke belakang. Namun tak ada orang. Dipandangnya jam dinding
yang sudah menunjuk ke angka 11 malam.Tak lama kemudian, terdengar suara ketokan
pintu dari ruang laboratorium itu.
“Siapa di sana?” teriak Jarot
dalam kehingan malam.
Tak ada satu suara
pun yang menjawabnya. Terdengar lagi ketokan pintu yang kedua.
“Siapa itu?!” teriak Jarot untuk
yang kedua kali.
“Kembalikan apa yang telah kamu
ambil dari saya,” suara seorang perempuan terdengar dari ruang laboratorium.
Jarot ketakutan. Dia
melangkah mundur dan terus berteriak siapa yang sebenarnya ada di luar sana.
Tiba-tiba..
BRAKKKK!!!
Pintu laboratorium
yang tertutup terbuka dengan kencang. Terlihat sosok perempuan yang berdiri di
tengah pintu laboratorium kimia dengan kaki yang tak menyentuh lantai.
“Kamu Sarah?” Jarot keheranan
sekaligus ketakutan.
“Kembalikan apa yang telah kamu
ambil dari saya,” kata sesosok perempuan itu.
“Tidak!!! Saya tidak akan
memberikannya padamu. Kamu sudah mati. Jangan ganggu aku.”
Sosok
perempuan itu kemudian mendekati Jarot. Tangan kirinya mengambil gunting yang
ada di meja. Jarot ketakutan setengah mati. Melangkah mundur dan melempari
sosok perempuan itu dengan apa saja yang bisa disentuh Jarot. Tapi perempuan
itu terus melangkah. Lalu tangan kanannya mengambil sebuah pisau yang
tergeletak di wastafel.
“Ampun, ampun!! Jangan lukai
saya. Ampun, Sarah ampun.”
“Kamu tidak mempunyai rasa
kemanusiaan sama sekali. Dan kamu pantas mati.”
JLEBBB!!! Pisau dan gunting
menancap perut dan dada Jarot sekaligus. Darah berceceran dimana-mana.
“Aaaarrrrgggghhhh,” teriak Jarot
dalam ruangan itu.
***
Pagi hari, kampus UBM sudah
dipenuhi banyak mahasiswa. Siska, Reni, Rio, Doni, dan Enggar penasaran apa
yang sedang terjadi. Salah satu mahasiswa mengantarkan mereka berlima menuju
laboratorium kimia. Teman-teman Jarot terperanjat melihat mayat Jarot yang
mengenaskan. Mereka semua penasaran. Apakah yang membunuh Jarot adalah hantunya
Sarah?
“Apakah kita juga akan mati
karena diam saja melihat ulah Jarot?” ucap Rio pada keempat teman-temannya,
namun keempat temannya hanya bisa diam.
“Kita lihat mayat Sarah,”
sambung Enggar.
Lalu mereka berempat
berlari menuju ruang bedah yang kemarin digunakan untuk pembedahan Sarah.
TAMAT
0 komentar:
Posting Komentar